Keturunan Rasulullah dan Habaib


Keturunan Rasulullah SAW bererti sangat luas, termasuk para habaib juga termasuk di dalamnya. Sebenarnya mereka berasal dari Yaman, bukan dari Makkah atau Madinah.

Bahkan para pemeluk syiah di Iran, Lubnan dan lain-lain pun termasuk keturunan beliau SAW.

Tuntutan-tuntutan seperti itu boleh boleh saja, tidak ada yang melarangnya. Asalkan masing-masing boleh mempertanggung-jawabkannya, baik kepada sesama manusia, apalagi kepada Allah.

Kita tidak perlu menghujat atau melecehkan mereka yang mengaku sebagai keturunan Nabi, sebab siapa tahu memang benar. Dan kalau ternyata salah, tentu saja mereka harus mempertanggung-jawabkannya.

Yang lebih penting untuk diingat, meski punya derajat tersendiri dan status sosial yang khusus di tengah-tengah masyarakat Islam, namun dalam pandangan undang-undang dan syariah, tidak ada bezanya antara keturunan nabi atau bukan.

Tidak pernah ada misalnya, kalau keturunan nabi lantas punya kemudahan untuk boleh tidak solat, tidak puasa Ramadhan, boleh tidak bayar zakat atau tidak wajib mengerjakan haji. Itu tidak berlaku.

Seorang anak habib juga tetap terkena larangan-larangan yang berlaku buat anak Paijo dan Paimin yang orang Jawa koek. Anak habib tetap diharamkan membuka aurat, mencuri, menipu, berzina, membunuh, berbohong, minum khamar dan semua larangan yang berlaku untuk semua muslim.

Kalau ada anak habib mengaku keturunan nabi Muhammad SAW yang ke-100 misalnya, tetapi kelakuannya lebih mirip keturunan Abu Jahal, maka selain berdosa, dia juga telah memalukan diri Rasulullah SAW secara peribadi dan langsung.

Kalau ada tokoh yang disegani mengaku keturunan nabi, tetapi doyan menjalankan hal-hal syirik, berpraktek seperti dukun, menggunakan jin dan segala hal yang berbau syirik, maka dia bukan keturunan nabi lagi. Orang seperti ini tidak perlu dihormati, sebab dia telah menipu orang lain.

Kalau ada orang yang mengaku sebagai keturunan arab, hidung mancung, rambut keriting, lengkap dengan nama keluarganya yang nasabnya bersambung kepada nabi Muhammad SAW, tetapi pekerjaannya mencela orang, mencari-cari kesalahan orang, memaki, menghujat, menuduh kafir atau ahli bid'ah, maka orang seperti ini telah mencaci maki diri sendiri.

Kalau ada kumpulan mengaku sebagai ahli bait Rasulullah SAW, tetapi ingkar kepada hadis-hadis nabawi, mencaci maki para sahabat nabi, wabil khusus Abu Bakar, Umar dan Uthman radhiyallahu 'anhum, maka mereka bukan ahlul bait. Sebab belum pernah ada ahlul bait di zaman ketiga khalifah ini hidup yang mencaci maki para sahabat nabi yang mulia.

Yang kerjanya mencaci maki para sahabat yang mulia adalah kalangan zindiq yang berasal dari keturunan Parsi, mereka terpaksa masuk ISlam setelah kerajaan mereka ditumbangkan oleh para pahlawan Islam. Di dalam Keislamanan mereka yang pura-pura itulah mereka memainkan peranan busuk dan kotor, iaitu menghasud umat Islam sambil mengobarkan api kebencian. Sehingga terjadilah perang Jamal dan Siffin serta fitnah kubro yang sempat mencoreng sejarah.

Lalu muncul kalangan yang menyimpang dari manhaj yang lurus, kerjanya memaki-maki para sahabat nabi serta memuja-muja ahlul bait. Kemudian berkembang membuat aliran aqidah sendiri yang menyimpang jauh dari apa yang diajarkan oleh Rasululah SAW. Mereka ingkar kepada Al-Quran dan membuat mushaf sendiri. Sampai mereka mendakwa bahawa Jibril salah menurunkan wahyu, seharusnya kepada Ali bin Abi Talib dan bukan kepada Muhammad, nauzdu billahi min zalik.

Wallahi, mereka bukan keturunan nabi SAW. Mereka adalah para zindiq yang menyamar menjadi muslim. Siapa pun yang berkelakuan seperti ini, mereka pasti bukan keturunan nabi Muhammad SAW.

Bahkan meski anak kandung seorang nabi langsung, namun bila kelakuannya justru bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh sang nabi, maka dia dianggap bukan keturunan nabi. Persis seperti pernyataan Allah SWT kepada anak kandung nabi Nuh alaihissalam yang durhaka.

Allah berfirman, "hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik." (Surah Hud: 47)

Tetapi kalau ada seorang alim yang ilmunya mendalam dan luas, kemampuannya dalam ilmu syariah, tafsir, hadis dan lain-lain diakui dunia international, kebetulan secara nasab beliau dinisbahkan kepada sulalah (keturunan) nabi Muhammad SAW, maka wajiblah kita menghormatinya. Pertama, kita menghormati ilmunya. Kedua, kita menghormati keturunannya.

Ulama betawi di zaman dahulu berguru dan mengaji kepada para ulama besar yang kebetulan memang keturunan nabi. Bukan semata-mata keturunannya, tetapi kerana ilmunya. Habib-habib di Kwitang adalah salah satu yang boleh kita sebut sebagai soko guru, sumber pertama, sanad awal dari ajaran-ajaran agama Islam yang berkembang di Jakarta dan sekitarnya.

Saat itu, habib di Kwitang bukan sekedar orang yang mengaku anak keturunan nabi, tetapi beliau punya ilmu yang dalam dan luas. Kepada beliau, para kiyai dan ulama se Jakarta belajar. Ilmunya berkah dan kemudian berkembang menjadi ribuan majelis taklim, madrasah, pesantren serta ribuan masjid se Jakarta. Itulah tipologi keturunan nabi yang lurus, berkah dan benar.

Tetapi keturunan arab yang hidupnya diisi dengan kemaksiatan semisal judi, penagih alkohol, menjadi preman pasar, dll (naudzu illah) juga banyak. Mereka seharusnya malu kalau mengaku-ngaku sebagai anak keturunan nabi.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Oleh Ahmad Sarwat, Lc | Warnaislam.com

Comments

elfan said…
APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?

Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait menjadi universal:

1. Kedua orang tua para nabi/rasul;.

2. Saudara kandung para nabi/rasul.

3. Isteri-isteri beliau.

4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki.

Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah bukan termasuk kelompok ahlul bait.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kesimpulan dari tulisan di atas, bahwa pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya seperti Saidina Hasan dan Husein maupun yang perempuan bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.
Anonymous said…
golongan habaib mengaku dirinya memegang kunci surga,jadi mereka terjamin masuk surga
coba baca hadist di bawah ini,tidak perlu jauh2 bibi Nabi Muhammad pun tidak terjamin masuk surga,Bahkan Fatimah Anak Rasulullah Tidak Dijamin Oleh Nabi Muhammad,maka renungkanlah wahai habaib,sudahkah amalan kalian baik?jangan sampai anak cucu kalian kalian sengsarakan dengan keyakinan kunci surgamu

terlebih dahulu kita baca :
(Hadits Shahih Bukhari 163)
“Hai, Bani Abdul Muthalib! Aku tidak kuasa
apa-apa untuk membelamu sekalian di hadapan
Allah kelak. Karena itu, kecuali sedikit harta
yang kumiliki mintalah kepadaku jika kamu
membutuhkan!”
(Hadits Shahid Bukhari 1261)
“Dari Abu Hurairah r.a, katanya: Rasulullah Saw
berdiri ketika Tuhan yang Maha Mulia dan Maha
Besar menurunkan ayat yang artinya: “Dan
berilah peringatan kepada kaum famili engkau
terdekat!”
Lalu beliau bersabda: “Hai kaum Quraisy! (atau
perkataan yang serupa dengan itu). Tebuslah
dirimu! Aku tiada dapat menolongmu barang
sedikitpun dari siksa Tuhan. Hai Bani Abdi
Manaf! Aku tiada bisa menolongmu sedikitpun.
Hai Abbas anak Abdul Muthalib! Aku tiada bisa
menolongmu sedikitpun dari siksa Tuhan. “Hai
Safiah, bibi Rasulullah! Aku tiada bisa
menolongmu sedikitpun dari siksa Tuhan. Hai
Fatimah binti Muhammad! Mintalah kepada aku
harta dan aku tiada bisa menolongmu
sedikitpun dari siksa Tuhan!”